Jumat, 18 November 2011



Strategi kebudayaan sejatinya bertaut dengan politik kebudayaan. Meminjam ungkapan Clifford Geertz dalam bukunya “Politik Kebudayaan” (1994), bahwa suatu politik negara mencerminkan desain kebudayaannya. Dan kita tahu, tujuan kebudayaan nasional Indonesia telah termaktub dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagai dasar filosofinya.
Pemikiran tentang politik kebudayaan terasa masih merupakan tugas konseptual. Sebagai landasannya adalah gagasan tentang bagaimana dan sejauhmana kita memahami modalitas kekinian tentang “kebudayaan” di satu pihak dan “nasional” di lain pihak. Kita senantiasa mesti menakar komitmen terhadap watak ideologis dan teleologis kenegaraan dan kebangsaan. Kebudayaan memang bukan hanya berisi pikiran manusia yang abstrak, konseptual, dan kognitif, melainkan pewarisan preskriptif antargenerasi sekaligus mewujud dalam tindakan yang riil, operasional, dan praktis.
Proses sistemik anasir kultural suatu bangsa pada dasarnya akan menentukan sejauhmana bangsa itu mampu membangun etos internalnya. Dan melalui etos sebagai energi kebangsaan inilah lahir bangsa-bangsa yang tergolong superior dalam sejarah dunia. Kekuatan dan kelemahan segi etos ini bisa menjelaskan, misalnya, mengapa Indonesia kalah gesit dibanding Singapura atau China.
Kelemahan substansial maupun institusional dalam kebudayaan kebangsaan kita kini terartikulasikan dalam lemahnya kekuatan kompetitif dan  profesionalisme berbagai kekaryaan. Kekinian kita sebagai “nation” hanya mendemonstrasikan berbagai involusi kultural seperti di bidang ilmu pengetahuan, hukum, pendidikan, sampai pada kedisiplinan.
Kebudayaan sebagai pengetahuan akan menjadi proses panjang dalam mengingat, menghimpun, dan mengolah berbagai dimensi epistemik kezamanan suatu bangsa demi pengembangan kualitas kebangsaan. Di sini, kita akan menoleh pada proses pendidikan. Persoalannya adalah, bagaimana kita bisa merumuskan suatu sistem pendidikan nasional yang unggul?
Kebudayaan sebagai pilihan eksistensi merupakan praksis nilai-nilai dimana suatu bangsa menentukan sikap diri kebangsaannya. Di sini akan membutuhkan pengejawantahan sikap loyal, dinamis, heroik, dan visioner yang menjadi prasyaratnya. Sementara, kebudayaan sebagai praktek komunikasi berarti memerlukan warga negara yang kreatif dan dinamis.
Bagaimana mengatur dan menata hubungan antarumat beragama dan berketuhanan bagi sesama bangsa misalnya, menjadi tema yang selalu aktual? Terlebih saat ini negeri kita tengah ramai dengan konflik keagamaan. Padahal, hegemoni kemayoritasan sedari dini telah diberlakukan sebagai hal yang tidak relevan. Cobalah simak pernyataan Soekarno bahwa demokrasi kita bukanlah “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.

Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 telah menyebabkan perubahan pada sebagian besar sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia dengan elemen-elemen reformasi seperti demokratisasi, desentralisasi dan pemerintahan yang bersih. Ketiga elemen utama ini telah memicu: (a). terciptanya hubungan baru antara pemerintah dengan masyarakat madni dan dunia usaha, (b). hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, (c). penciptaan transaparansi dan akuntabilitas, (d). partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pembangunan. Dengan kata lain, reformasi telah menuntut perlunya pembaharuan dalam sistem perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara secara nasional.
Pembangunan nasional Indonesia harus mengakomodasi semua aspek kehidupan masyarakatnya (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, politik dan lingkungan hiddup) dengan melibatkan semua elemen bangsa: pemerintah (pusat dan daerah), unsur swasta/LSM dan masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang selama ini dilakukan hanya menitikberatkan pada satu aspek saja (ekonomi) dari kehidupan masyarakat yang kemudian menimbulkan efek negatif pada aspek hidup lainnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dengan miskin yang semakin lebar (akibat pembangunan yang bersifat konglomeratif) menimbulkan masalah sosial seperti meningkatnya tindak kriminalitas adalah contoh kecil dari ekses pembangunan selama ini. Hal ini juga dapat dilihat pada aspek politik, seperti kebijakan pemerintah hanya menguntungkan segelintir orang saja, pemilihan kepala pemerintahan (pusat dan daerah) yang nantinya hanya akan mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang memberikan sumbangsih (terutama finansial) dengan melupakan janji-janji manis perbaikan taraf hidup rakyat miskin.
Pada akhirnya kondisi kemiskinan akan mempengaruhi rendahnya produktifitas, pendapatan, dan kurangnya modal (sisi permintaan) dan dari sisi penawaran akan menyebabkan rendahnya tabungan masyarakat karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu berinvestasi. Hal ini akan menciptakan tiga lingkaran setan kemiskinan, dimana sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi merupakan dua istilah yang sinonim  (Jhingan, 2007). Kondisi lingkungan hidup juga ikut terkena imbas negatif dari pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Pencemaran lingkungan (darat, laut/danau/sungai dan udara) akibat pembangunan pabrik-pabrik dan eksploitasi SDA yang berlebihan adalah harga yang harus dibayar mahal tidak saja oleh Indonesia tetapi juga masyarakat internasional.
Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi cepat (rapid growth economic) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah menegasikan elemen pembangunan lainnya, seperti lingkungan hidup. Implikasinya, saat ini, kondisi lingkungan hidup telah bergeser yang semula sebagai elemen penopang pembangunan menjadi salah satu ancaman bagi hasil pembangunan itu sendiri baik terhadap generasi saat ini maupun yang akan datang. Lebih jauh, kerusakan hutan tropis yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, misalnya, cenderung bersumber dari implementasi paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi negara (state-dominated forest control and management)semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (Nurjaya, 2000).
Dengan demikian, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat masa kini tanpa harus mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat pada generasi – generasi masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dimaksud adalah: (a). kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, (b). dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada diri dan lingkungannya, (c). dengan tidak menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, (d). menuju tingkat kehidupan yang lebih tinggi, (e) .dengan atau tanpa bantuan dari luar, (f). dalam batas hukum & HAM yang universal. (W.I.M. Poli, 2008).
  oleh: Aditya Arifandi 

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar