Jumat, 18 November 2011



Manusia sejak awal memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang dalam Islam dikenal dengan Tauhid. Apa yang kita pahami dari konsep tauhid sebagai prinsip dasar muslim sesungguhnya adalah  upaya membangun kesadaran tunggal. Konsep tentang tahid meniscayakan adanya kesatuan wujud. Dengan konsep ini kita tidak semata meyakini bahwa Allah itu satu, tetapi juga meyakini realitas adalah satu  juga, atau tunggal. Konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah apa yang nisbi bukanlah  realitas. Dia dinamakan  realitas justru hanya karena dinisbatkan kepada Tuhan. Segala aktivitas yang disandarkan selain Tuhan, maka itu bentuk “kemusrikan intelektual”, dan itulah noda besar yang tak termaafkan bagi kesucian Tauhid.
Posisi manusia di bumi tidak lain tidak bukan sebagai seorang hamba yang mengabdikan seluruh hidup kepada-Nya, maka keagungan kita tidak akan bisa terpahami tanpa keterkaitan denganTuhan. Bila ridha Tuhan tidak menjadi pusat orientasi kita dalam menjalani kehidupan ini, maka kualitas hidup kita akan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, kita akan terbebaskan dari derita alienasi, karena Tuhan adalah pesona yang Maha Hadir dan Maha Mutlak. Eksisitensi yang relatif akan lenyap kedalam ekistensi yang absolut. Kesadaran akan kemahahadiran Tuhan akan membuat kita selalu memiki kekutan, pengendalian sekaligus kedamaian, sehingga merasa dalam orbit Tuhan, tidak dalam orbit dunia yang tidak jelas jluntrung-nya.
Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut mengandung berbagai konsekuensi. Pertama, konsekewnsi dalam bentuk pengakuan yang tulus (ihklas) bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang mutlak. Pengakuan  ini kelanjutan yang mutlak, yang menjadi sumber semua wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.
Konsekwensi kedua dari prinsip ketuhanan adalah bahwa umat manusia seluruh dunia adalah sama dari segi harkat dan martabat asasinya. Tidak seorangpun berhak merendahkan manusia yang lain, karena semuanya adalah sama di sisi Tuhan, kecuali takwanya. Tidak ada yang berhak menindas sesama manusia kecuali Tuhan.
Disinilah fungsi ita sebagai “abid” (hamba). Maksudnya adalah kita mengembalikan segala aktivitas yang kita lakukan hanya ditujukan kepada Tuhan, ini konsekwensi logis dari persaksian kita, la ilha illallah (transendensi). Tiada yang berhak dijadikan sandaran di dunia ini kecuali hanya Allah.
Tetapi ternyata Tuhan tidak hanya menjadikan manusia sebaga hamba yang mengabdi kepadanya, melainkakn Tuhan juga memberikan tanggungjawab kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, inilah peran kita. Dan karena itu, sebagai mandatarisnya di muka bumi, maka nilai ilahiyah (implikasi dari keyakinan kepada Tuhan bahwa manuisa adalah hamab) tersebut harus memberi maslahah kepada manusia lain (kemanusiaan). Keyakinan demikian meupakan koneskwensi logis dari persaksian kedua kita Asyhadu anna muhammadar rasulullah.
Hanya saja dalam menjalani peran yang kita lakukan-dokter-pedagang-insinyur, ekonom, nelayan, petani atau apapun- itu adalah semua perintah Tuhan dan harus dioreintasikan hanya kepada Tuhan. Maka tanggungjawab kita adalah menjalani peran-peran tersebut dengan sebaik-baiknya (amanah), selama hal itu mendorong proses aktualisasi Tauhid, misi kekhalifahan dan kebebasan kita. Karena itu, apakah dan bagaimanakah kehidupan di dunia atau peran kita baik atau buruk, sangat tergantung sejauh mana kita bersignifikansi dengan proses aktualisasi orientasi dan misi kita hidup di dunia. (EK)

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar