Selasa, 13 Desember 2011


Ditulis oleh : Eko Bayu Firdaus (Kader Hmi Kofak TI UII) 


Pendahuluan
Tulisan ini dibuat atas dasar keresahan penulis terhadap pola pikir mahasiswa yang cenderung pragmatis dan tidak konstruktif. Mental mahasiswa yang kini hanya pada titik labil yang cenderung menurun. Keseimbangan intelektualitas dan kemampuan memimpin menjadi tolak ukur yang harus dicermati dan kampus “seharusnya” sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas perihal tersebut.

Ketika kita berbicara tentang perguruan tinggi, sebenarnya apa yang ada didalam benak kita? Suatu gengsi atau sebuah institusi yang mendukung jenjang pendidikan kita dalam menghadapi tantangan zaman?. Ketika penulis berfikir untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang dipikirkan pertama kali adalah saya akan menjadi orang pintar, saya pasti menjadi orang sukses. Sedangkan kini data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2010, lulusan perguruan tinggi menempati peringkat teratas sebagai pengangguran terbuka. Dari 8,59 juta penduduk yang menanggur, sebanyak 15,7 persen diploma dan 14,2 persen sarjana.

Universitas Islam Indonesia adalah peristiwa bersejarah yang lahir dari keresahan akan keberadaan intelektual muslim yang akan meneruskan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tahun 1947 dikutip dalam buku sejarah dinamika UII bahwasanya STI lahir untuk menjadi bukti adanya kesadaran berpendidikan pada masyarakat pribumi. STI adalah cita-cita luhur tokoh-tokoh nasional Indonesia yang melihat kenyataan bahwa ketika itu pendidikan tinggi yang ada adalah milik Belanda (Technische Hoogeschool atau Institut Teknologi Bandung kini, Recht Hoogeschool di Jakarta dan Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor). Kemudian, STI menjadi UII didahului pembukaan kelas pendahuluan (semacam pra universitas) yang diresmikan pada bulan Maret 1948 di Pendopo nDalem Purbojo, Ngasem Yogyakarta.

Dalam pasal 2 ayat 1 (a) dalam peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 berisikan bahwa salah satu tujan pendidikan tinggi adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.

Dalam pasal diatas dijelaskan cita-cita pemerintah akan perguruan tinggi pada tingkat pemikiran dan kecerdasan siswa atau biasa disebut mahasiswa diharapkan sudah mumpuni dan dapat mengembangkan keilmuannya. Kampus sebagai  sebuah wadah intelektual muda yang mengasah kemampuan diri dengan didampingi seorang pengajar yang disebut dosen. Peran komunikatif antara dosen dan mahasiswa harus berjalan dengan masif sampai pada toga melekat pada mahasiswa tersebut. Dan penulis sepakat bahwa kampus sudah menjadi ruang mahasiswa untuk bergerak menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis yang baik.

“Namun saat ini kita kembali mempertanyakan kemana arah gerak kampus dalam membentuk karakter mahasiswa? Mau dijadikan apa manusia yang berstatus mahasiswa itu?”
           
            Gerakan kampus untuk mendukung mahasiswa aktif partisipatif disini menjelaskan bahwa dorongan kampus terhadap aktifitas mahasiswa pun diperhatikan. Kegiatan berorganisasi, berdiskusi, dan meneliti seharusnya dijadikan sebuah kurikulum pendidikan tinggi saat ini. Bagaimana kita membuat mahasiswa memiliki jiwa kemimpinan yang kuat, progresif namun tidak sporadis. Hilangnya karakter bangsa Indonesia bisa menyebabkan martabat bangsa diinjak-injak, apalagi jika kita melihat moral para pejabat yang katanya sudah mendapat gelar sarjana ataupun master. Hanya tangis dan deru nafas yang menguat melihat tindakan yang memalukan seperti itu. Apa yang sudah dilakukan kampus ketika mendidik manusia yang suka memakan harta yang bukan haknya?. Bertanyalah pada rumput yang bergoyang, atau semilirnya angin yang membawa kita kepada alam mimpi.
           
Isi

            Memasuki dimensi perubahan sosial, kita akan menemukan perbincangan mengenai faktor-faktor yang menimbulkan perubahan sosial ,  agent of social change berapa lama perubahan sosial itu terjadi, dan apa dampak dari perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial secara perlahan dan terus menerus mengalami perubahan tanpa ada perencanaan disebut unplanned social change. Faktanya (Rakhmat,2005) , perubahan sosial yang demikian disebabkan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi.

            Bung Karno dalam pidatonya pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tahun 1966, “bahwa bangsa Indonesia pada masa selanjutnya sudah menunjukkan gejala akan datangnya masa yang lebih berat”. Dalam kutipan pidato tersebut menegaskan bahwa perubahan sosial akan terus terjadi dan semakin berat beriringan dengan lahirnya era globalisasi. Bung Karno pun pernah berkata bahwa jangan pernah sekali-kali kita melupakan sejarah. Bagaimana kita membangun bangsa (nation building) dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan satu bangsa yang berjiwa yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan atau bangsa yang merdeka dalam abad ke-20 ini? (Soekarno, 1966).

            Bung Karno pun menuturkan bahwa, “Membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertanahan adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa”. Institusi pendidikan sebagai pondasi utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam undang-undang dasar 1945.
           
Negara-negara maju seperti Jerman memberikan pendidikan gratis pada warga negaranya dalam upaya mencerdaskan masyarakatnya. Sedangkan banyak ditemui di Indonesia banyak siswa sekolah yang ingin melanjutkan namun terbelenggu biaya pendidikan akibat “tikus-tikus kotor” yang memakan uang rakyat. Dalam hal ini, sebagai mahasiswa dan pemerhati pendidikan penulis memiliki sebuah harapan dimana golongan-golongan seperti halnya diatas dapat ditampung dan dibantu guna “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Mahasiswa yang sudah terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia didorong oleh sistem yang ada dikampus untuk dapat aktif membangun karakternya masing-masing. Hal ini sangat diperlukan penekanan dari pihak kampus. Mahasiswa kini banyak melihat sosok barat yang menjadi idola dan menurut Jalaludin Rakhmat “yang mempengaruhi terjadinya perubahan adalah great individuals (tokoh-tokoh besar)”. Budaya pop kini menuntun mahasiswa menjadi mahasiswa yang pragmatis dan konsumtif, apa yang ada di barat diikuti. Carlyle pernah menyatakan, “ sejarah dunia... adalah biografi orang-orang besar”  mengapa saya katakan sosok menjadi hal yang penting saat ini.

Pada zaman globalisasi saat ini kita dapat melihat perbandingan prosentase mahasiswa yang mengidolakan para pejuang bangsa Indonesia yang berusaha menjadikan Indonesia bangsa yang merdeka dengan orang-orang yang menciptakan teknologi. Kekaguman terhadap sosok pejuang tanah air kian hari kian luntur, sejarah tinggal cerita yang usang dan ditinggalkan oleh para pendengarnya. Oleh karena itu, butuh gerakan refleksi kampus dalam mendidik mahasiswa menjadi nasionalis namun tidak fanatik. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong mahasiswa aktif dalam berorganisasi dan berdiskusi dalam kegiatan-kegiatan lembaga mahasiswa, kita perlu membuat “sks” pada aktifitas organisasi ini.

Kegiatan-kegiatan konservatif juga harus lebih digalakkan terkait teknis bagaimana kita meneliti, berdiskusi membicarakan permasalahan sosial tidak perlu jauh tentang hukum, ekonomi ataupun politik namun sesuai dengan konsentrasi yang dimiliki. Apa yang bisa dilakukan mahasiswa Indonesia dalam menciptakan sebuah terobosan, bukan sebuah kuliah 3 sks kemudian pulang dan lupa apa yang telah diajarkan pada hari tersebut. Kemudian ada sebuah realita yang saat ini membudaya dikalangan muda, Mahasiswa yang seharusnya up to date news atau isu-isu nasional namun kini terbalik malah hanya update status di jejaring sosial seperti Twitter atau Facebook. Sebuah realita yang menggelitik jika kita mendengar kata “mahasiswa” hanya melakukan aktifitas seperti itu.

Sarana prasarana menjadi hal pendukung yang paling penting dalam memberikan ruang mengembangkan diri. Secara konkrit perlu adanya taman bacaan, tempat olahraga, sistem informasi yang dapat ditemui diberbagai sudut, kenyamanan dalam belajar, media menuangkan ide seperti inovasi dan bisnis, sosial kemasyarakatan, peneliti muda, dan mahasiswa berbakat, sistem multimedia yang memadai disetiap kelas, dan banyak hal lainnya yang dapat mendukung aktifitas belajar mengajar, berorganisasi, dan mengembangkan diri.

Saya melihat fasilitas seperti tempat membaca koran, anjungan komputer, kursi kelas belum bisa membuat nyaman mahasiswa untuk memanfaatkannya. Kemudian tanah kosong yang belum dimanfaatkan bisa dijadikan taman bacaan mahasiswa tentunya dengan kenyamanan yang dirasa cukup (walaupun itu relatif). Ruang bergerak organisasi pun perlu adanya rehabilitasi bangunan dan struktur yang diperluas dengan harapan meningkatnya partisipasi mahasiswa dalam berorganisasi
           
            Sebuah harapan besar ada didepan mata, namun bagaimana kita saat ini membangunkan kembali macan yang tertidur dalam diri mahasiswa dalam menerjang tantangan hidup. Selain cita-cita individu ditanamkan pula cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan masyarakat yang cerdas dan terbebas dalam jajahan.


Penutup

Setiap mahasiswa pasti memiliki impian dan cita-cita untuk menggapai kesuksesan, namun saat ini hal itu tidak dibarengi dengan usaha keras. Semua kampus  menjadi ruang berpikir dan mengembangkan keilmuan. Perlu adanya dorongan yang kuat dari diri individu mahasiswa dan kampus yang berusaha dalam menjalankan amanah undang-undang dasar 1945. Mahasiswa menjadi pilar masa depan bangsa.

Dan kita melihat saat ini mayoritas mahasiswa berpikir instan, ingin menjadi orang sukses namun tidak mau berusaha dan bekerja keras. Menurut Mario Teguh, “kesuksesan memerlukan keberanian, seberapa besar hidup yang anda inginkan, akan sama halnya dengan seberapa besar resiko yang berani anda ambil”. Tidak ada orang besar di negeri ini yang masa mudanya hanya dipenuhi oleh kegiatan hura-hura dan berfoya-foya, pasti pada masa mudanya dijalani dengan usaha keras. Berpikir, membaca, berdiskusi dan menulis merupakan kegiatan mereka sehari-hari. Jadi lebih baik kita mencontoh hal-hal tersebut dan bukan malah mencontoh berhura hura dan berfoya-foya.

Sebenarnya kita patut bersyukur dan bangga jika dapat menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa karena hanya sekitar 4,3 juta orang atau 5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang bisa merasakan pendidikan tinggi. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan dengan benar-benar menjadi seorang “MAHASISWA” dan bukan menjadi “mahasiswa angin-anginan” atau “mahasiswa abal-abal” yang hanya menumpang bertitel “MAHASISWA”, namun secara intelektualitas, pola pikir dan tindakan tidak menunjukan predikat sebagai seorang mahasiswa. Mari kita jalani “The real education” ini dengan baik dan sepenuh hati untuk menggapai impian dan kesuksesan yang kita idamkan dan pada akhirnya nanti mendapat prestisius dan sebuah pengakuan atas semua usaha yang kita lakukan saat ini.

Akhir sebuah kata dalam tulisan “Gerakan kampus mendukung mahasiswa aktif partisipatif” adalah upaya kampus dalam mewadahi kebutuhan mahasiswa dan keresahan penulis akan mental mahasiswa yang terhanyut dalam budaya pop dengan kapitalisme dan hedonismenya. Dan mudah-mudahan ini menjawab segenap perwakilan mahasiswa yang ada dalam keresahannya dan menunggu datangnya perubahan itu, menjadi Mahasiswa yang aktif partisipatif dalam pembangunan bangsa, dan sosok itu dalah mahasiswa FTI UII.