Jumat, 18 November 2011


siapa yang pantas disebut kaum intelektual? Apakah dosen, sarjana, aktivis mahasiswa, pengamat, pekerja LSM, atau setiap orang yang bergelar tertentu secara akademik? Mereka semua, secara literal, bisa terkategori intelektual. Bahkan, petani dan tukang becak yang bisa membaca teks di televisi atau koran pun juga tergolong kaum intelektual jika indikatornya adalah melek huruf. Menurut Coser (1965), intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Ini dipertegas oleh Shils (1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung. Jika merujuk Coser dan Shils, pertanyaan di atas tidak terlalu penting dijawab. Sebab, pada dasarnya setiap orang tidak pernah merasa puas dan selalu berupaya mencari kebenaran. Di samping itu, setiap orang bisa mendeklarasikan dirinya sebagai intelek menurut perspektif masing-masing. Makna per kamus juga sekadar memberikan definisi secara etimologis, sementara alam pikir manusia sudah sedemikian berkembang melampaui ruang dan waktu. Membicarakan kaum intelektual tak lepas dari pendidikan. Karena dunia pendidikanlah yang banyak mencetak kaum intelektual. Majunya sebuah bangsa tak lepas dari peran para kaum intelektual yang turut menyokongnya. Oleh sebab itu, maju mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh banyaknya kaum intelektual yang member sumbangsih atas bangsa tersebut. Begitu juga dalam hal politik dan kebudayaan, peran para intelektual sangat dibutuhkan untuk membangun politik dan kebudayan kearah yang lebih maju.
Akhir 2009 dan awal 2010 masyarakat luas Indonesia disuguhi tontonan politik dan hukum secara terbuka lewat media cetak dan elektronik, bahkan dalam dunia maya. Menariknya, tontonan hukum dan politik itu belum pernah terjadi sejak berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan ada kata-kata yang tidak lazim dilontarkan oleh mereka yang mendapat mandat rakyat. Misalnya saja pada menjelang akhir tahun lalu dipertontonkan pembeberan isi rekaman perbincangan pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam upaya kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pembeberan isi rekaman itu yang berlangsung 3 November 2009 di Mahkamah Konstitusi tersebut terdengar rangkaian dialog dengan kata-kata tak pateni. Ucapan tak pateni (saya bunuh, dalam bahasa Jawa tak pateni lebih pas jika itu diarahkan pada binatang) terdengar jelas dalam rekaman dialog Anggodo Widjojo dengan seseorang yang diduga petugas, sementara pada tontonan kedua berupa pergelaran Pansus Century ucapan 'bangsat' hanya pas ditujukan pada seseorang yang dianggap sudah betul-betul kehilangan jati diri manusianya lagi. artinya, kata tersebut masih ditoleransi dalam dunia cerita fiksi yang fungsinya sebagai penegas kemarahan saja. Sebaliknya yang terjadi bukan cerita fiksi, dua kata itu dilafalkan dalam dunia politik riil yang notabene menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Dalam konteks pendidikan karakter budaya bangsa, ucapan dan perilaku politik tersebut tidak ditemukan dalam kurikulum. Demikian pula hal itu tidak ditemukan dalam karakter budaya bangsa Indonesia. Jelas dan terang sekali, itu bukan karakter dan perilaku budaya politik yang dikehendaki bangsa Indonesia. Dengan kata lain, mereka berpolitik dengan mengabaikan karakter budaya bangsa. Pantas dan wajar saja kalau ada seloroh sebagian orang negeri seberang yang mengatakan peradaban bangsa Indonesia sedang mengalami kemunduran karena semakin menjauh dari jati diri bangsanya sendiri. Perilaku politik beyond its native culture itulah salah satu indikasinya. Lantas, apa mereka salah asuh atau rakyat salah pilih atau salah bawaan? bisa dikatakan bahwa  perilaku politik yang  mengabaikan karakter budaya bangsa itu sebagai akibat dari kesalahan institusi pendidikan yang memproduksinya sebagai sarjana mengingat dunia pendidikan nasional dewasa ini juga menuai kritik. Atau jangan-jangan mereka sering menonton dan menikmati dialog-dialog dalam kesenian tradisional tersebut di atas atau mungkin pernah menjadi salah satu aktornya.
            Kritik terhadap dunia pendidikan dewasa ini juga tidak jauh dari perspektif  karakter budaya bangsa mengingat sejak satu dekade lalu hingga sekarang pendidikan nasional hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan murid/siswa/mahasiswa, sementara pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa semakin terpingirkan. Jika ini benar, tentu kekhawatiran kita semua semakin nyata, yaitu terpinggirnya nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam pendidikan nasional berakibat kemunduran peradaban bangsa Indonesia.
 Setidaknya ada dua hal yang perlu dikemukakan dalam konteks pendidikan karakter budaya bangsa sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional umumnya, pendidikan politik dan hukum khususnya agar berpolitik dan berhukum tidak mengabaikan karakter budaya bangsa dimaksud. Pertama dan paling utama, pemahaman budaya dalam konteks pendidikan nasional itu sendiri, apa budaya itu dimaknai sebagai filosofi pendidikan atau sebagai materi pengajaran. Pengalaman selama belasan tahun mengenyam pendidikan dari Sekolah Dasar hingga jenjang Perguruan tinggi menunjukkan bahwa tidak semua pengelolaan pendidikan baik tataran institusi pendidikan tinggi (universitas, institut, sekolah tinggi, diploma) maupun tingkat menengah (atas dan pertama), hingga sekolah dasar menempatkan letak budaya bangsa sebagai filosofi dalam sistem pendidikan nasional. Memang dalam sistem pendidikan nasional, setiap institusi telah mempunyai visi, sebuah impian bahwa sarjana yang dihasilkan akan berkarakter sesuai dengan keunggulan yang dijual oleh institusi dimaksud kepada masyarakat luas sebagai calon pengguna sarjana yang dihasilkan . Namun, yang amat penting dengan pendidikan karakter budaya bangsa adalah sebuah kesadaran mendalam bahwa apa pun keunggulan yang dimiliki institusi, apa pun visi yang diimpikan harus tetap merujuk filosofi bangsa Indonesia, Pancasila. Sementara itu, budaya sebagai materi pendidikan dan pengajaran dimaksud berkaitan dengan kurikulum yang mencakup mata kuliah berikut materinya, tenaga kependidikan yang mencakup kompetensi, kapasitas dan pengalamannya, tentu perangkat keras penunjang lainnya merujuk visi masing-masing. Dengan berfilosofi budaya bangsa Indonesia, operasionalisasi proses belajar-mengajar hendaknya berisi karakter kejujuran, kebersamaan, toleransi, kesopanan, dan peduli kepada orang lain sehingga sarjana yang diproduksi pun berkarakter demikian.
Dalam konteks Pansus Hak Angket Bank Century, nilai-nilai dasar karakter budaya bangsa itu harus tertanam ke dalam dan tecermin pada semua anggota pansus dalam berpolitik. Setidaknya, semangat di balik pemeriksaan saksi-saksi yang dianggap memiliki informasi terkait bailout Bank Century adalah bukan untuk menjatuhkan, bukan untuk memojokkan, 'menelanjangi', melainkan sebaliknya, semangat kebersamaan untuk memetakan sebuah kebijakan nasional mana yang baik dan buruk, benar dan salah, sesuai dengan aturan atau tidak sesuai, dan seterusnya, yang kemudian disembuhkan dan ditata ulang agar tidak terjadi lagi di masa mendatang
Kebudayaan nasional, di satu segi adalah obyek ketahanan nasional, sebagai sistem nilai dan identitas bangsa harus yang ditumbuhkan dan diamankan dalam rangka survival ‘bertahan’ dan perjuangannya mencapai cita-cita bangsa malah dirusak orang-orang yang istilahnya “Tidak Intelek”  . Identitas bangsa adalah esensi dari kekuatan . Indonesia sebagai negara baru yang berada dalam tahap memantapkan ke-eksistensi-an sebagai negara dan bangsa, masih harus menghadapimasalah-masalah pokok seperti persatuan dan kesatuan nasional, pemantapan ini jelas membutuhkan peran intelektual di dalamnya.

oleh: Ravi Dinul Haque



Categories:

0 komentar:

Posting Komentar